Konsep itikad baik untuk pendaftaran merek dagang butuh dipertegas.
Penegasan itu terutama menyangkut pengertian atau kriteria itikad baik butuh diperjelas dan satu bahasa.
Hal tersebut dikemukakan pakar ilmu hukum Dr Bakti Trisnawati saat menjadi pemateri dalam diskusi permasalahan merek sebagai hak kekayaan intelektualitas yang digelar forum dosen dan unit pelaksana teknis Penelitian dan Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Untag.
“Permasalahan merek dagang diatur sepenuhnya dalam UU 20/ 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Mencakup perlunya itikad baik pemohon pendaftaran merek kepada pemerintah,” kata dia dalam ruang diskusi fakultas kawasan Pawiyatan Luhur Bendandhuwur Gajahmungkur.
Hadir Kepala Litbang FH Untag Dr Markus Suryo Utomo, moderator Dr Setyowati, Humas Hudi Karno Sabowo SH MH dan para dosen dari berbagai jurusan di fakultas hukum.
Ditambahkan sesuai penjelasan Pasal 21 Ayat 3 UU 20/ 2016 pemohon yang beritikad baik adalah mereka yang mendaftarkan merek secara layak, jujur dan tanpa niat membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran pihak lain.
Permasalahan muncul ketika dalam prakteknya masih sering dijumpai pelanggaran terhadap merek yang sudah terdaftar.
Banyak merek yang didaftarkan pemilik yang tidak beritikad baik akhirnya disetujui pihak berwenang. Bahkan saat digugat secara hukum mereka menang.
Jaminan yuridis diperlukan mencegah pelanggaran hak atas merek.
“Sesuai putusan Mahkamah Agung, bisa didefinisikan seseorang tidak beritikad baik apabila menggunakan merek yang terbukti sama dengan produk milik orang lain. Di situ muncul peniruan atas merek yang sah milik pihak lain,” kata dia.
Pada diskusi ini dicontohkan kasus gugatan pelanggaran merek minuman berenergi dan rokok yang sempat menyita perhatian publik.
Merek di sangat strategis karena mempunyai fungsi sebagai pembeda barang maupun jasa sejenis.
Selain itu merupakan jaminan terhadap kualitas barang maupun jasa yang diberikan. Merek juga dipakai alat kompetisi, monopoli, bahkan petunjuk asal usul dan aset suatu perusahaan.
Kebutuhan melindungi merek merupakan hal penting.
Kini perkembangannya, pemilik merek yang sudah terdaftar merasa belum ada jaminan hak khusus bersifat ekslusif. Padahal merek sudah didaftarkan pertama kalinya dihadapan negara.
Kondisi itu juga karena dipicu pengertian, konsep atau kriteria mengenai itikad baik belum satu bahasa dan multitafsir.
Diinginkan, ke depan dengan adanya satu bahasa membuat Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM tidak akan salah menerima atau menolak merek yang diajukan.
Hakim juga tidak akan keliru memutus perkara bila sampai muncul sengketa.
Kemudian pemilik produk pasti tidak akan berani mengajukan permohonan jika memiliki kesamaan pada merek yang telah didaftarkan terlebih dulu.